Tahun Hijriyah mengawali tahun baru pada tanggal 1 Muharram dan
Tahun Jawa pada tanggal 1 Suro.
Tahun Jawa memiliki kesamaan dengan Tahun Hijriyah terutama mengawali tanggal dan bulannya. Perbedaannya terletak pada istilah penyebutan nama bulan. Tahun Hijriyah menyebut bulan Muharram atau Asyuro, sementara Tahun Jawa menyebut bulan Suro. Kesamaan keduanya ternyata dapat ditelusuri dari sejarah kerajaan Mataram Islam di bawah kekuasaan pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi).
Ketika itu di masyarakat Jawa, tahun yang menjadi pegangan masyarakat pada zamannya adalah Tahun Saka yang berdasarkan peredaran matahari. Sementara bagi umat Islam sendiri menggunakan Tahun Hijriyah. Pada waktu Sultan Agung berkuasa, Islam telah diakui menjadi agama di lingkungan istana Mataram Islam. Maka untuk tetap meneruskan penanggalan Tahun Saka yang berasal dari leluhurnya, dan ingin mengikuti penanggalan Tahun Hijriyah, maka Sultan Agung membuat kebijakan mengubah Tahun Saka menjadi Tahun Jawa. Maka ketika tahun 1555 Saka, oleh Sultan Agung diganti menjadi tahun 1555 Jawa dan berlaku untuk masyarakat pengikutnya. Sementara penetapan tanggal dan bulannya disamakan dengan tanggal dan bulan Tahun Hijriyah. Berarti tanggal 1 Suro 1555 Tahun Jawa sama dengan tanggal 1 Muharram 1043 Hijriyah dan bertepatan pula dengan tanggal 8 Juli 1633 Masehi.
Nama-nama bulan pada Tahun Jawa pun dibuat lain dan berbeda dengan nama-nama Tahun Hijriyah. Tentu saja disesuikan dengan ucapan masyarakat Jawa. Seperti bulan Muharram (Tahun Hijriyah) = bulan Suro (Tahun Jawa), bulan Shafar = Sapar, bulan Rabi’ul Awal = Maulud, bulan Rabi’ul Tsani = Bakda Maulud, bulan Jumadil Ula = Jumadil Awal, bulan Jumadil Tsaniyah = Jumadil Akir, bulan Rajab = Rejeb, bulan Sya’ban = Ruwah, bulan Ramadhan = Pasa, bulan Syawwal = Sawal, bulan Dzulqa’dah = Dulkaidah, dan bulan Dzulhijjah = Besar.
Mungkin timbul pertanyaan, kenapa harus tanggal 22 Juni? kita bisa menjawabnya berdasarkan keterangan tersebut dari hubungan tanggal 22 juni dengan peredaran matahari… sistem kalender solar ini adalah titi mongso yang digunakan orang Jawa asli.
Seperti yang kita tahu, kita yang berada di Indonesia, saat ini paling tidak mengenal empat macam tahun yang berbeda-beda, misalnya Tahun Masehi, Tahun Hijriah, Tahun Jawa, dan Tahun Imlek. Tahun Masehi didasarkan atas perputaran bumi mengitari matahari yang dikenal dengan tahun matahari, dan berkaitan dengan musim, sementara Tahun Hijriyah dan Tahun Jawa didasarkan pada perputaran bulan mengelilingi bumi dan tidak berkaitan dengan musim. Tahun yang berdasarkan perputaran matahari dan bulan memiliki perbedaan jumlah hari setiap tahunnya. Untuk tahun matahari, setiap tahunnya berjumlah 365/366 hari, sementara untuk tahun bulan, memiliki hari 354 per tahun.
Bahwa tahun baru Jawa seharusnya diperingati setiap tanggal 22 Juni bukan setiap tanggal 1 suro karena sejatinya orang jawa menganut penanggalan matahari / SAKA bukan penanggalan bulan / Candra / hijriyah. Dimana tahun saka selalu sama dengan kalender masehi sehingga seharusnya tahun baru jawa selalu sama tanggalnya dari tahun ke tahun, bukannya maju 10 hari tiap tahun seperti sekarang. Waktu itu sudah banyak orang jawa yang rib-iriban sehingga fatwa Sultan Agung bisa diterima dan cepat menyebar, namun masih ada orang yang ngugemi penanggalan saka sehingga berlanjut sampai sekarang.
Secara garis besar Nusantaralah sebenarnya yang telah mempelopori budaya astronomi dunia, jauh sebelum India, Arab dan Yunani menemukan sistem perkalenderan mereka, dan memang telah di temukan kalender yang berusia ratusan ribu tahun yang berasal dari peradaban atlantis yaitu nusantara. Nama-nama hari: Radite, Soma, Anggara, Budha, Respati, Sukra, Saniscara merupakan nama-nama benda angkasa jawa.
Team peneliti the lost world telah menemukan bukti pernah ada kelender tertua yg pernah ditemukan yakni berusia kurang lebih 15.000 tahun yang lalu, bukti-bukti yang mendukung disekitarnya menunjukkan kalender tersebut lebih cenderung memiliki keselarasan dengan budaya nusantara. Sebagaimana benua atlantik yang hilang, peneliti Brazil berani menyimpulkan 80-90% adalah nusantara. Walau penelitian belum tuntas, setidaknya bisa digunakan sebagai bahan kajian ilmiah secara lebih dalam lagi. Kalau memang benar tesis tersebut, tentu negara negara Barat yang menganggap diri mereka sebagai pusat kemajuan dan pemandu kemajuan peradaban manusia di bumi ini akan serta merta menolak. Itulah status quo, dimanapun orang akan cenderung mempertahankan status quo walaupun terbukti keliru, salah, dan tidak layak lagi dipertahankan.
Poro kadhang sedoyo yang saya hormati… kepada panjenengan semua saya tidak bermaksud merubah keyakinan yang sudah meresap. Seandainya panjenengan masih ngugemi bahwa tahun baru jawa jatuh pada tanggal 1 suro ya monggo, selama panjenengan yakin dan meRASA nyaman, berarti itu yang sesuai dengan panjenengan.
Mohon maaf apabila pemahaman saya mengenai tahun baru Jawa di atas kurang sesuai dengan pemahaman panjenengan. Namun hanya satu pertanyaan yang menggelayut dalam pikiran saya, apakah tidak ada di antara kita yang pernah di ingatkan oleh beliau-beliau leluhur bahwa seharusnya ngugemi budaya asli Nusantara termasuk juga ngugemi penanggalan aslinya?…
Rahayu… Rahayu… Rahayu…
Suro Diro Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti
“Bahwasanya, betapapun hebatnya
seseorang, saktinya mandraguna kebal dari segala senjata, namun manakala
dalam lembaran hidupnya selalu dilumuri oleh ulah tingkah yang
adigang-adigung-adiguna maka pada saatnya niscayalah akan jatuh
tersungkur dan lebur oleh ulah pakarti luhur” :)…
***