Kurun sebelum ‘kemerdekaan’ Indonesia (sebelum 17
Agustus 1945) belum ada Negara  Kesatuan Republik Indonesia -- kawasan
itu lazim disebut wilayah Nusantara. Batas-batas  wilayah Nusantara  itu
tidak sama dengan batas-batas  wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.



Bicara perihal wilayah Nusantara, ingatan kita harus kembali ke jaman
kerajaan,  kasultanan, kasunanan, yang tersebar di seluruh  wilayah
Nusantara. Dari kondisi itulah  sebenarnya terdapat berbagai  etnis atau
suku bangsa yang mempunyai keanekaragaman. Tentu saja, keanekaragaman
budaya. Bicara budaya, tak dapat lepas dari mengenal unsur-unsur
kebudayaan, yakni: sistem mata pencaharian, ilmu pengetahuan dan sistem
teknologi, sistem komunikasi, organisasi sosial, kesenian, sistem
kepercayaan (agama atau sejenisnya), pendididikan, kesehatan, tata boga
dan tata busana.



Masing-masing  etnis mempunyai sumber kesusilaan. Terdiri dari sumber
kesusilaan perseorangan dan  sumber kesusilaan umum.  Sumber kesusilaan
perseorangan berupa cara-cara (bentuk) perbuatan.  Suatu bentuk
perbuatan yang  dilakukan tiap individu, dapat menjadi kebiasaan yang
 merupakan dasar dari kesusilaan umum.  Kebiasaan berkembang lebih
lanjut menjadi tata kelakuan, lalu menjadi  adat istiadat dan bahkan
menjadi hukum adat. Kesusilaan perseorangan yang  menjadi kesusilaan
umum, kemudian ‘dilembagakan’:  untuk  diketahui, dimengerti,  ditaati,
dihargai  yang kemudian terinternalisasi semakin kuat menjadi lembaga
sosial. Dengan penjiwaan dan internalisasi yang makin kuat, menjadi
 membudaya.


Sumber kesusilaan  yang terinternalisasi sehingga membudaya tersebut,
berasal dari  peraturan yang  dikeluarkan raja-raja, sultan-sultan di
seluruh Nusantara. Ada juga yang berasal  dari kitab-kitab  kuno. Ada
pula yang berasal dari kehidupan masyarakat (rakyat) juga.  Sumber dari
rakyat ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis. 


Sumber kesusilaan selalu  mengandung nilai atau gagasan yang paling
ideal, yaitu segala yang didambakan sebagai yang paling ideal yang
 melekat pada objek, gagasan, dan pengalaman manusia  dalam  bercipta,
berasa dan berkarya.  Nilai  yang  ada pada setiap suku bangsa,
menyangkut masalah dasar. Yaitu tentang hakikat hidup, hakikat karya,
persepsi waktu, pandangan terhadap alam, dan hubungan dengan sesama.


Dari situlah kemudian muncul sebuah corak yang dalam istilah
“religiomagis” erat dengan pandangan hidup yang  mengandung perpaduan
alam bepikir “bangsa Indonesia”. Bahkan religiomagis  ini diartikan
manusia sebagai participerend cosmisch (manusia bagian dari
alam semesta) wajib mengusahakan  keseimbangan atau keselarasan  atau
keserasian antara makro kosmis dan mikro kosmis. Masyarakat di setiap
suku bangsa sudah mempunyai kepercayaan terhadap Sang Hyang  Adhi
Inderawi – yakni sesuatu yang  tidak bisa dilihat oleh mata manusia atau
didengar oleh telinga manusia (kecuali orang terpilih), yg menggerakkan
segala kekuatan di luar kemampuan  manusia, misal: kematian, kelahiran,
bencana alam.  Setiap etnis mempunyai sebutan terhadap  Sang Hyang Adhi
Inderawi dengan istilah berbeda-beda sesuai bahasa setempat.
Penyebutannya berbeda tetapi mempunyai kesamaan  percaya pada Sang Hyang
 Inderawi tersebut setelah ‘kemerdekaan’ dan berdiri Republik Indonesia
dirumuskan dalam sila:  Ketuhanan Yang Maha Esa.


Selain corak religiomagis, suku banga di wilayah Nusantara, juga mengenal corak commune trek, atau communal,
yakni kebersamaan. Ini bukti manusia merupakan makhluk dalam ikatan
 kemasyarakatan yang  kuat dalam segala aktivitas (kegiatan)  manusia.
Kepentingan  individu selalu diimbangi dengan  kepentingan umum. Hak-hak
individu diimbangi hak-hak umum.  Corak religiomagis ini melahirkan
sila:  Persatuan Indonesia.


Selain religiomagis dan commune trek, juga terdapat  corak
tunai (kontan) artinya penataan pikiran serba konkret dengan perbuatan
nyata, atau perbuatan simbolis atau dengan suatu pengucapan, maka suatu
tindakan yang  dimaksud selesai seketika itu juga. Artinya,  masyarakat
telah terbaisa dengan adanya  komitmen dan  dapat dipercaya. Contoh:
jaman ‘dulu kala’ jual-beli padi di sawah seluas dua hektar, tidak
memerlukan dokumen bahkan tidak perlu saksi seperti sekarang.  Antara
penjual dan pembeli cukup berkomitmen dan saling percaya. Inilah yang
harus dipahami bahwa  aspek kejujuran dari kebiasaan kesusilaan
perorangan yang kemudian menjadi kesusilaan umum sehingga setiap ucapan 
orang dapat dipercaya karena setiap orang mempunyai komitmen tinggi
pada apa yang diucapkan. Corak tersebut, melahirkan sila: Kemanusiaan
yang adil dan beradab.


Dengan demikian  dasar dari nilai-nilai  Pancasila tersebut,  merupakan
kecerdasan atau kebijaksanaan setempat yang dapat diketahui atau
ditemukan di balik aktivitas manusia. Misal, sikap membungkukkan badan
jika hendak menghormati orang lain, posisi tangan saat mempersilahkan
orang lain, cara duduk, dan lain-lain – semua mencerminkan  kebijakan
atas  kecerdikan lokal. Setiap suku memiliki aktivitas atau
simbol-simbol atau lambang-lambang yang memiliki makna. Hal itu dapat
digali dari dongeng, cerita rakyat, pepatah, nyanyian daerah, semboyan,
mitos-mitos yang ada.


Satu contoh model pengairan, Subak di Bali yang telah dilaksanakan
turun temurun dari generasi ke generasi, merupalan dasar dari Sila
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan dan Kedadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Subak adalah kecerdasan dan kearifan lokal yang kini mendapat
pengakuan dari The World Heritage. Kearifan lokal  yang
 mengandung nilai-nilai dasar Pancasila terdapat di seluruh wilayah
Nusantara. Tidak ada yang diambil dari bangsa atau wilayah lain.
Meskipun berbeda-beda, namun nilainya tetap sama.


Dari situlah nilai-nilai  Pancaila  menjadi dasar, setelah  berdiri
negara Republik Indonesia, atau setelah Indonesia ‘merdeka’.  Oleh
perumus, nilai-nilai dalam berkehidupan suku bangsa yang ada dalam
masyarakat, diperas menjadi lima sila di dalam rumusan Pancasila. Sejak  itulah Pancasila dijadikan dasar Negara Republik Indonesia.  Dasar adalah merupakan fondasi atau landasan sebuah negara. Bahkan  merupakan dasar filosofis yang tertinggi.


 Jika kemudian  muncul pemikiran baru Pancasila sebagai pilar
– hendaknya benar-benar dikaji ulang dalam memahami dan memaknai
dasar-dasar lahirnya sila-sila dalam Pancasila (setelah Indonesia
‘merdeka’).  Sebab, pilar adalah tiang,  bukan dasar/fondasi. Tiang
alias pilar itu  tidak sekuat fondasi. Yang perlu  dipertanyakan  adalah:  pemikiran yang  melatarbelakangi upaya berubahnya Pancasila dari dasar menjadi  pilar. Selanjutnya, apa alasan   mengapa Pancasila  bukan sebagai dasar,  tetapi bergeser sebagai pilar?


Jika Pancasila menjadi pilar, pilar tersebut berdiri pada fondasi/dasar
apa?  Dengan kata lain, jika Pancasila menjadi pilar, lalu layak
dipertanyakan: apa yang (hendak) diletakkan sebagai dasar?


Bangsa Indonesia adalah pewaris negara, tentu saja  beserta dasar negara yang telah digali secara cerdas oleh para the founding fathers. 
Sebagai pewaris harus sensitif dan cerdas  terhadap setiap segala
bentuk upaya pengubahan.  Jangan menutup mata, telinga dan hati nurani
terhadap bukti-bukti sejarah, hukum maupun budaya yang telah secara
implisit maupun eksplisit meletakkan Pancasila sebagai dasar negera
Republik Indonesia. Salah satu contoh, dokumen dari Dialog Budaya dalam
rangka Penyusunan Cetak Biru Pembangunan Nasional Kebudayaan atas
prakarsa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dialog budaya tersebut
dilaksanakan di Medan, 31 Januari 2012. Berikut salah satu lembar
Kerangka Berpikir yang menunjukkan dokumen bahwa Pancasila adalah dasar
negara, bukan pilar (ke)bangsa(an). 


Oleh: Prof Dr Dra MG Endang Sumiarni SH, Mhum*





       



*Prof Dr Dra MG Endang Sumiarni SH, MHum; adalah guru besar
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum  Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Tim Ahli
Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Kebudayaan, Direktorat 
Jenderal Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 2013.





Luncurkan toko Anda hanya dalam 4 detik dengan 
 
Top