Angka 17 adalah angka yang suci.
Pertama – tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita
semua berpuasa. Ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Tanggal 17
besuk hari Jumat, hari Jumat itu Jumat Legi, Jumat yang berbahagia,
Jumat suci. Al – Qor'an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang
17 rakaat. Karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia" !.
KIDUNG PANCASILA (EDISI VI/250211)
JAYA! RAHAYU WIDADA MULYA
Para Kadang Sutresna, maafkan bila kami tak dapat memenuhi permintaan
sebagian kadang untuk menterjemahkan KIDUNG yang telah kami sajikan
mengingat Kidung itu sendiri merupakan terjemahan dari sejarah, budaya,
religi, spiritualitas, filosofi dll.
Sungguhpun demikian yang kami anggap urgen dan bahasa2 Kawi yang perlu
dijelaskan sedapat mungkin memang harus dibausastrakan dari kamus dll.
Dan kami mohon maaf, hanya itu yang mampu kami persembahkannya//
KHUSUS BAGI WARGA "FIS" AKAN KAMI MUAT SAJIAN TERDAHULU, MAAF LUPA MOSTING//
JAYA - JAYA - JAYA WIJAYANTI/SAMPURNA
C.PERJUANGAN RUH KEMERDEKAAN
Di
era itu nampak jelas bahwa semangat, jiwa dan ruh kemerdekaan sedang
berproses ke hogore optrekking, sehingga lagu mars PNI “Indonesia Raya”
oleh Bung Karno dijadikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya yang digubah
oleh komponis Wage Rudolf Supratman yang menekankan adanya suatu esensi
tentang pembangunan (ruh, jiwa dan raga) : “Bangunlah jiwanya bangunlah
badannya untuk Indonesia Raya”!
Esensi pembangunan tersebut seirama dengan yang dirasakan pula oleh Bung
Karno sehingga secara pajang lebar, ia memberikan statemennya seperti :
“Kita punya perjuangan pada hakekatnya adalah perjuangan roch , ia
adalah perjuangan semangat , ia adalah perjuangan geest. Ia ialah suatu
perjuangan yang pada awalnya lebih dulu harus menaruh alas – alas dan
sendi – sendinya tiap – tiap perbuatan dan usaha yang harus kita lakukan
untuk mencapai kemerdekaan itu; alas – alas yang berupa Roh – Merdeka
dan Semangat Merdeka, yang harus dan musti kita bangun – bangunkan,
harus dan musti kita hidup – hidupkan dan kita bangkit – bangkitkan,
bila mana kita ingin akan hasilnya fiil tahadi. Sebab selama roh &
semangat itu belum bangun dan hidup serta bangkit, selama Roh dan
Semangat yang berada dalam hati sanubari kita masih mati, selama Roh itu
masih Roh Perbudakan, selama itu akan sia – sialah perbuatan dan usaha
kita, ya, selama itu tidak dapatlah kita melahirkan suatu perbuatan dan
usaha yang luhur. Sebab perbuatan tidak bisa luhur & besar, jikalau
ia tidak terpikul oleh Roh & Semangat yang luhur dan besar pula
adanya”! (Melihat Kemuka, Suluh Indonesia Muda, 1938). Juga masalah jiwa
dan roh kemerdekaan tersebut bergelora pula dalam pembahasan –
pembahasan pada sidang BPUPKI yang berlangsung dari 29 Mei 1945 – 7
Agustus 1945.
Oleh sebab itu revolusi dan perjuangan terus berlanjut dan sejarah
bangsa terus saja bergulir seiring kodratinya sesuai dengan derap dan
langkah evolusinya jaman yang dinamakan "perfection perfected"
(menyempurnakan yang telah sempurna) yang merupakan kejadian
penyempurnaan hayati umat manusia bangsa Indonesia ini, sebab umat
manusia itu sejatinya adalah produk TUHAN yang belum selesai (unfinish
product) dan yang senantiasa nyakra - manggilingan, terdaur kembali,
manitis atau tumimbal balik yang disebutnya juga dengan reinkarnasi yang
menuju kesempurnaan yang mutlak.
Disamping itu Bung Karno bahkan oleh Kaisar Hirohito dianugerahi “Ratna
Suci” dinyatakan sebagai keluarga kekaisaran Jepang yang membuat keki
para petinggi tentara pendudukan Jepang, bahkan setelah Proklamasi Bung
Karno juga dianugerahi :” The Highest Order of the Shinto”.
Dimata masyarakat Hindu khususnya oleh seorang resi Soemantri
Tjakrawrdaya yang bermukim di Trowulan, diyakini bahwa Kaisar Hiro Hito
adalah merupakan reinkarnasi dari Prabhu Hayam Wuruk yang tugasnya
belum pari purna sehingga dengan mengirim pasukannya guna menempa para
pemuda – pemudi Nusantara untuk memerdekaan dirinya dan sekaligus
membangkitkan esensi kerajaan Majapahit. Maka mengaku sebagai “Saudara
Tua”.
D. HARI - HARI MONUMENTAL :
1. Tanggal 15 Agustus 1945 :
Kepelopran para pemuda yakni khususnya Chairul Saleh saat keadaan
genting itu sangat menonjol, ia menggerakkan massa pemuda/pelajar &
mahasiswa guna mematangkan situasi. Sedangkan koleganya Soekarni
menggerakkan para perwira Peta untuk “mengamankan” Soekarno – Hatta ke
Rangasdengklok. Sementara perwira Peta seperti : Latif Hendraningrat,
Singgih, dokter Sutjipto Gondoamidjojo, Mayor Subeno, Sutrisno, Oemar
Bahsan dan Sam turut aktif dalam pengamanan tersebut.
Maka pada 15 Agustus 1945 jam 1400 Syahrir menemui Bung Karno
mengabarkan bahwa Jepang (barusan) telah menyerah kalah tanpa syarat
kepada Sekutu, maka otomatis terjadilah pembicaraan yang serius.
Kemudian ia juga menemui Bung Hatta.
Maka pada petang harinya Bung Hatta juga didatangi oleh para wakil
pemuda yakni Sudiro Joyokusumo bersama dengan Subadio Sastrosatomo,
namun tidak dapat mengubah pandangannya.
Oleh sebab itu seusai berbuka puasa, tak ketinggalan Chairul Saleh
mengadakan pertemuan dengan para pemuda & mahasiswa di kebun jarak,
belakang Laboratorium Bakteriologi, Pegangsaan Timur No. 16, tak kurang
15 pemuda yang hadir. Rapat khusus membahas bagaimana menghadapi
situasi, terutama dalam menghadapi Soekarno – Hatta dan kemerdekaan itu
sendiri. Akhirnya diputuskan bahwa : ”Kemerdekaan Indonesia adalah hak
dan soal rakyat Indonesia sendiri, tidak tergantung kepada siapapun dan
kerajaan manapun. Untuk menyatakan bahwa Indonesia telah sanggup
merdeka, harus dinyatakan dengan jalan proklamasi”.
Selanjutnya diputuskanlah bahwa Wikana bersama Darwis bertindak sebagai
wakil pemuda, yang bertugas meyakinkan Bung Karno dan Bung Hatta, bahwa
Jepang sudah menyerah pada Sekutu. Setelah keduanya berangkat menemui
Bung Karno, Chairul Saleh pergi ke Menteng Raya 31 guna menemui Soekarni
dan beberapa perwira Peta serta kelompok Pemuda.
Di kediaman Bung Karno terjadilah perdebatan sengit antara ke duanya.
Bung Karno menyatakan bahwa “Saya menghadapi pihak Pemuda; Pemimpin
Tua dan pemimpin Agama. Syahrir menarik saya ke jurusan tertentu, Hatta
juga menarik saya ke arah tujuan tertentu. Tapi saya harus mengikuti
hati nurani saya sendiri”!, tukasnya.
Karena jalan buntu, dengan perasaan dongkol – kecewa segera para pemuda
meninggalkan kediaman Bung Karno untuk melaporkan kepada kawan –
kawannya yang telah menunggu di Cikini 71. Di ruang belakang Baperi, ada
Chairul Saleh, dokter Muwardi, Johar Nur, dan beberapa pemuda lainnya
serta para penghuni rumah pondokan tersebut. Dengan lesu dan murung
kedua pemuda itu melaporkan kegagalannya yang baru saja mereka alami.
Ternyata Soekarno – Hatta tidak dapat diyakinkan oleh gertakan Wikana,
bahkan mereka berdua diusir dari kediaman Bung Karno, Pegangsaan 56
dengan kasar.
Dalam suasana yang tegang itu, Johar Nur dengan tegas nyeletuk : “Angkat
saja !”. Namun ia pun tidak tahu bagaimana melaksanakannya. Untunglah
sebelumnya Chairul Saleh, telah berunding dengan Soekarni dan beberapa
perwira Peta, apa yang akan dilaksanakan bila Soekarno – Hatta
menolaknya.
2. Tanggal 16 Agustus 1945 Menjelang Detik – Detik Proklamasi :
Pada pagi buta seusai saur, kurang lebih lonceng menunjukkan angka 0400
para pemuda telah menyebar ke berbagai pelosok kota & pinggiran
Jakarta guna mempersiapkan rakyat agar menyambut dentang “Proklamasi”
sesuai jadwal (gagasan pemuda) dan dengan pembagian tugasnya masing –
masing.
Sebuah mobil membawa Chairul ke rumah Winoto Danuasmoro di jalan
Pekalongan untuk meminjam mobil Fiat. Kemudian mengantarkan Muwardi ke
kediaman Bung Karno guna melakukan tugasnya.
Soekarni, Singgih dan Jusuf Kunto melanjutkan perjalanannya ke Oranye Boulevard (sekarang Jl. Diponegoro) rumah Bung Hatta.
Setibanya, Bung Hatta menyambutnya dengan nada marah : “Apa maksudmu ? “
Soekarni menjawab : “Bung lekas – lekas bersiap keadaan sudah memuncak
genting. Rakyat sudah tidak sabar lagi menunggu. Belanda & Jepang
sudah bersiap – siap pula untuk menghadapi segala kemungkinan. Pemuda
& rakyat tidak berani menanggung akibat apa yang akan terjadi jika
Saudara masih tinggal di dalam kota”!.
Sebaliknya dr. Muwardi setelah sampai di kediaman Bung Karno digelayuti
rasa takut sehingga begitu enggan untuk membangunkan Bung Karno karena
menganggap jam – jam seperti itu Bung Karno sedang tidur nyenyak.
Kemudian setibanya kembali Winoto Danuasmoro dan Chairul Saleh baru ia
memiliki keberaniannya lagi, sehingga ketiganya bak jagoan dengan sigap
memasuki kediaman Bung Karno.
Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa penghuni rumah, pada saat yang
gawat itu sedang galau, terjadi perang batin atas persoalan pelik
bagaimana cara menyatakan kemerdekaan bangsa dan mengenai prosedurnya.
Karena PPKI yang dipimpin Soekarno – Hatta oleh kalangan pemuda dianggap
“bikinan Jepang”. Maka semalam Bung Karno tak dapat tidur dan duduk
sendirian di ruang makan sambil makan saur. Maka dini hari itu saat para
pemuda tersebut datang lagi dengan mengendap – endap Bung Karno
melihatnya dengan jelas. Para pemuda seraya menyandang pistol dan
sebilah pisau panjang dengan mata membelalak berseru : “Berpakaianlah
Bung …., sudah tiba saatnya”. Kegaduhan seketika terjadi dan kemudian
Bung Karno masuk kamar menyampaikan kepada Bu Fat bahwa ia akan
dibawanya ke luar kota. Tuturnya, Fat ikut apa tinggal ? Tanya Bung
Karno. Fat sama Guntur ikut. Kemana Mas pergi di situ aku berada juga!
Jawabnya.
Tak ayal, di luar sudah menunggu sebuah sedan Fiat hitam kecil dan
ternyata Bung Hatta sudah ada di dalamnya. Mereka berempat duduk di
belakang sementara Soekarni dan Winoto Danuasmoro bersama seorang supir
duduk di depan, dan di pagi buta itu mobil meluncur ke arah timur.
Sesampainya di Cipinang terpaksa mereka harus pindah mobil menggunakan
truk Syodanco Singgih, karena susu bubuk bayinya Guntur tertinggal ,
maka Fiat tesebut kembali untuk mengambilnya. Dan Bung Karno – Bung
Hatta diberikan pakaian seragam Peta untuk digunakannya. Truk segera
meluncur dikawal oleh sepasukan Peta anak buah Singgih mengawal
rombongan tersebut sampai di tempat tujuan.
Jam 0600 rombongan telah tiba di Rangasdengklok setelah berkali kali
melewati tempat pemberhentian dan menyeberangi sungai karena suasana
yang dianggapnya tidak kondusif berhubung tentara Jepang senantiasa
mengawasinya di manapun mereka berada.
Setelah rombongan singgah di rumah Camat, kemudian di sebuah pondok
bambu berbentuk panggung di tengah persawahan , setelah mendapat
sarapan pisang rebus kemudian pindah lagi kesurau dan pada jam 0810,
Syodanco Singgih dari Daidan Jakarta memasuki asrama PETA (kediaman
Cudanco Subeno kemudian sandi - berita “Jakarta sudah mulai” diteruskan
pula kepada Syodanco Oemar Bahsan dan memintanya untuk menemui Soekarni
dan dr. Sutjipto Gondoamidjojo. Para tamu yang berada di Cudanco Subeno
kemudian dipindahkan ke sebuah rumah di luar pagar Cudan di sebelah
utara yakni rumah Djiauw Sie Siong (versi Bu Fat) atau I Song (versi
Oemar Bahsan) sekalipun halamannya dipenuhi kotoran babi toh dianggap
yang paling layak di wilayah Rangasdengklok untuk mengadakan negosiasi.
Pemilik rumah dilarang pergi dan harus merahasiakan atas tamu – tamunya
tersebut. (Note : rumah babah I Song pada 2010 terpaksa akan dijual oleh
ahli warisnya, saying tak ada kepedulian pemerintah pusat & daerah
untuk menyelamatkan asset sejarah tersebut bahkan termasuk buku nikah
Bung Karno dengan Bu Inggit pun terpaksa juga mau dilelangnya pula,
sungguh miris belum lagi monumen Jenderal Sudirman di Pacitan yang
digagas dan dibuat oleh anak buah pengagum Pak Dirman, juga mau dijual
dan Pemerintah/Menbudpar Jaro wacik justru menyalahkan ahli warisnya,
quovadis).
Tak lama terjadilah perdebatan panas, Soekarni berkata : "Revolusi
berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung
tidak memulai revolusi siang ini, … lalu …".!
"Lalu apa ?', hardik Bung Karno sambil beranjak dari kursinya, dengan
kemarahan yang menyala – nyala, apa lagi jam 4 pagi tadi dr. Muwardi
yang gundah seolah hilang nyalinya seketika dengan tibanya Chairul Saleh
dan Winoto bangkit keberaniannya dengan bersenjatakan pistol dan
senjata tajam lainnya menggertak dan memaksakan kehendaknya pula pada
Bung Karno.
Sontak semua yang hadir terkejut, dan anehnya tidak seorang pun yang
berani bergerak atau beranjak serta berbicara, wajah – wajah semua
tertunduk dalam degub jantung yang menguras adrenalin mereka.
Suasana menjadi tenang kembali, setelah Bung Karno duduk. Dengan suara
rendah ia mulai berbicara; "Yang paling penting dalam peperangan &
revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan
seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17!".
"Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja?, atau
tanggal 16 ?" ,tanya Soekarni. "Saya orang yang percaya mistik. Saya
tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17
lebih memberikan harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam
kalbuku, itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka yang suci.
Pertama – tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita
semua berpuasa. Ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Tanggal 17
besuk hari Jumat, hari Jumat itu Jumat Legi, Jumat yang berbahagia,
Jumat suci. Al – Qor'an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang
17 rakaat. Karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia" !.
(Dalam versi lain kesaksian seorang pejuang dan pimpinan keluarga
kebatinan WISNOE, Semarang (Alm. Hadi Soemarto) menceriterakan bahwa
berdasarkan penuturan pendirinya, jauh sebelum itu, Bung Karno pernah
sowan ke seorang tokoh spiritual Surakarta bernama Rama Minhad, beliau
bertanya waktu yang tepat untuk proklamasi itu tanggal berapa ?.
Dijawabnya : “Rusukmu ada berapa?”. Bung Karno segera menjawab “Tujuh
Belas”!. Ya, pakailah itu, tukasnya!)
Demikianlah antara lain dialog dan perundingan antara Bung Karno dengan
para pemuda di Rangasdengklok, saat itu. Setelah disepakati maka mereka
makan masakan Mang Irun, Mang Erman, Bik Nari, Bik Siti Nourma Tahir
(isteri Kapten Masrin Hasan Muhammad (Penasehat PETA Rangkasdengklok
yang juga gerilyawan “Gunung Hejo serta pimpinan tentara “Banteng”),
Mang Ilyas dan lain sebagainya kemudian istirahat – tidur berpencar di
tempat pilihannya masing – masing termasuk di dapur.
Sebaliknya di Jakarta pun tak kalah sibuk & menegangkan. Chairul
Saleh pada 16 Agustus 1945 jam 09.00 mengadakan pertemuan antara Pemuda
yang diwalili oleh Chairul Saleh dengan Peta. Daidan Jakarta diwakili
oleh Latif Hendraningrat. Pembicaraan diadakan di Kebun Binatang Cikini
yang letaknya berdampingan dengan Asrama Cikini 71. Mereka berdua
mengadakan pembicaraan rahasia di restoran Kamar Bola. Sedangkan pemuda
lainnya berpencar menjaga keamanan mengantisipasi bila Jepang tiba –
tiba mengadakan penyerbuan. Chairul kemudian melakukan pertemuan dengan
kelompok pemuda lain di Jl. Bogor Lama (sekarang Jl. Saharjo) di rumah
Maruto Nitimihardjo. Sambil menanti datangnya kabar dari Rangasdengklok
mereka pun mempersiapkan teks Proklamasi.
Hari itu pihak intel dan polisi Jepang telah mencium hilangnya Bung
Karno – Bung Hatta maka diadakan penangkapan – penangkapan terhadap Mr.
Yamin dan Syarib Thayib. Mereka dianggap mengetahui golongan mana yang
menangkap Bung Karno – Bung Hatta. Chairul lolos karena tidak ada di
tempat dan ayah Bu Fat pun ikut dicomot Jepang dibawa ke Kempetai.
Subardjo dan Mbah Diro menghubungi Chairul Saleh dan Wikana untuk saling
berkerjasama, tawaran tersebut tentu diterimanya. Maka Subardjo dengan
Mbah Diro diputuskan dengan diantar oleh Jusuf Kunto untuk menjemput
Bung Karno – Bung Hatta ke Rangasdengklok.
Kuatir usaha Mr. Subardjo akan menggagalkan rencana “pimpinan van aksi”
dan bisa membawa Soekarno – Hatta pada suatu kompromi dengan Jepang
dalam bentuk mengintrusksikan kemerdekaan hadiah, maka Wikana segera
memerintahkan anak buahnya untuk mencegat mereka di jalan yang menjadi
pintu keluar masuk Jakarta. Ternyata tindakan itu sudah terlambat, oleh
karenanya malam harinya di ulang lagi. Ditentukan agar Mr. Subardjo dkk.
sekembali dari Rangasdengklok, bersama maupun tidak bersama Soekarno –
Hatta, segera datang ke salah satu markas pimpinan van aksi. Akan tetapi
ternyata Wikana menunggunya dengan sia – sia, karena tugas tidak
terlaksana sebagaimana yang mereka harapkan.
Kembali di Rangasdengklok, pada jam 1700 tiba – tiba muncullah
Sukardjo, Sucokan (Residen) dengan berpakaian Jawa datang dari Jakarta
kemudian disusul pula oleh Mr. Acmad Soebardjo (seorang yang telah
dikenal dalam sejarah perjuangan Indonesia. Beliau pada tahun 1922 –
1926 adalah anggota Majalah Perhimpunan Indonesia di Netherland. Tahun
1935 – 1936 sebagai koresponden majalah “Matahari”, di Tokyo, Jepang)
yang diberi tugas untuk menyusul Bung Karno – Bung Hatta, agar segera
kembali ke Jakarta. Petang itu pula diputuskan pulang ke Jakarta dan
Soekarni senantiasa begitu gelisah apa lagi di tengah jalan melihat api
berkobar – kobar di depan seraya mengatakan bahwa di Jakarta pemuda –
pemuda sudah mulai berontak. Kata Soekarni berkali – kali! Sebaliknya
Bung Karno dan Bung Hatta tak sedikitpun percaya bahwa api itu tanda
pemberontakan. Maka diputuskan untuk didekati saja dan ternyata
keyakinan Dwitunggal benar adanya karena yang ada, api tersebut hanyalah
dari nyala pembakaran jerami saja. Dan kemudian semuanya tertawa. Bung
Karnopun nyelethuk : “Itulah revolusi di Jakarta. Hai pemuda – pemudamu
yang berevolusi itu ?. Itulah gurauan Bung Karno kepada Soekarni.
Tepat 16 Agustus 1945 jam 20.00 rombongan tiba di rumah Bung Hatta. Tak
lama kemudian Bung Karno dengan Bung Hatta segera menuju ke kediaman
Laksamana Muda Maeda Tadhasi guna memimpin rapat.
Sementara Fatmawati dan Guntur kembali ke rumahnya di Pegangsaan Timur
No. 56 dan disana telah menunggu S. K. Tri Murti dan Sayuti Melik serta
beberapa pemuda. Orang tua Bu Fat ternyata tidak di rumah karena
sepeninggal Bung Karno ia ditahan oleh Kempetai.
Sebelum rombongan tiba dari Rangasdengklok ternyata berbagai kelompok
telah mengetahui bila Bung Karno dengan Bung Hatta akan kembali ke
Jakarta, dan orang – orang yang dekat dengan Kaigun (Angkatan Laut) pun
sudah dikerahkan untuk menyambut kedatangan rombongan tersebut di rumah
Lakda Maeda. Nampak BM. Diah dari harian Asia Raya, Sayuti Melik yang
belum lama keluar dari bui & Iwa Kusuma Sumantri, sudah siap menanti
kedatangan Bung Karno – Bung Hatta di ruang depan.
Bulan Puasa bulan yang suci, sama sekali tak sedekitpun mengurangi
energy, gerak dan langkah perjuangan mereka dan itulah ibadah dan bakti
sucinya terhadap bangsa dan Ibu Pertiwinya itu.
Maka alangkah naifnya bila anak – anak bangsa yang tidak ikut berjuang,
melupakan jasa – jasa mereka bahkan saat ini ada kelompok masyarakat dan
lembaga agama merasa paling berhak atas negeri ini dan memaksakan
kehendak untuk menjadikan “Negara agama” yang seolah – olah keimanan dan
pemahaman mereka tentang agama Islam lebih hebat dibanding para
founding fathers khususnya para kyai sepuh seperti K. H. Wachid Hasyim,
sang pendiri Nadlatul Ulama dan Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar
Muzakir, H.A Salim, Mr. Ahmad Soebardjo.
Ada kelompok radikal yang telah menelusup ke negeri tercinta ini mereka
memiliki strategi dan langkah –langkah bagaimana mengusai Indonesia
yang empuk ini dengan tiga langkah :
1. Da’wah
2. Jizyah
3. Jihad, yang dengan menimbulkan ketakutan di masyarakat, mereka siap perang dengan menebar konflik dan terror.
Sehingga mereka tidak saja telah menafikan pengorbanan para pendahulu
kita, para pejuang, pahalawan, syuhada dan leluhur kita yang luar biasa
tidak saja waktu, kesenangan, harta dan darah bahkan nyawa pun mereka
persembahkan asalkan anak – cucunya dapat hidup dalam Negara yang
merdeka – berdaulat. Akan tetapi mengapa mereka senang menumpahkan darah
? Nampaknya benar hipotesa Dr. Yusuf Qordhawi, “Fiqhul Ikhtilaf”,
Robbani Press, Jakarta 1990, yang menyatakan bahwa : “Diantara sarana
paling berbahaya guna menghancurkan persatuan antar aktivis Islam pada
khususnya & kaum muslimin pada umumnya ialah ‘takfir”, pengkafiran
terhadap sesama muslim”. Sedangkan begitu banyak Hadist nabi yang
menyabdakan antara lain :
Barang siapa menuduh kafir seseorang mukmin maka ia seperti membunuhnya” (Diriwiyatkan oleh Buchari & Muslim).
Barang siapa menuduh kafir seseorang atau memanggil “Wahai musuh Allah”,
pada halo rang yang dipanggil tidak demikian maka tuduhan kafir itu
kembali kepadanya”. (Diriwayatkan oleh Bunchari & Muslim).
QS : An – Nisa, ayat 93 : “Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah jahanam”.
“Tahanlah dari kalian dari (menuduh) orang yang mengucapkan ‘La ilaha
Illallah, janganlah kalian mengkafirkan mereka, kaena sesuatu dosa.
Barang siapa mengkafirkan orang yang mengucapkan tersebut maka ia lebih
dekat dengan kekafiran”. Hadist Ibnu Umar r.a (diriwayatkan oleh
Thabrani dalam Alkabir dari hadist Dhahhak bin Hamrah dari Ali bin
yahid).
Ironis, Mereka nir emphatic bagaimana orang yang kehilangan anak –
anaknya dan atau kehilangan ayahnya dan atau juga suaminya sehingga
anak – anaknya menjadi piatu bahkan yatim piatu, berjuang mengais rezeki
guna mempertahankan hidup anak – anak yang semestinya masih menikmati
masa anak – anak. Sebaliknya banyak nenek – nenek dan atau kakek –
kekakek yang telah kehilangan tulang punggung demi kelangsungan hidup
mereka. Toh mereka tak terbesit adanya kesedihan karena mereka bangga
anak – anaknya mampu menjadi patriot bangsa, kusuma bangsa yang ikut
andil dalam memerdekakan dan atau mempertahankan kemerdekaan bangsanya
itu.
Maka sangat ironis pengorbanan mereka itu semua, serta merta akan
dirampas oleh kelompok masyarakat yang anti PANCASILA yang ingin
menjadikan Negara Agama.
Sungguh ironis, seolah mereka tidak terikat atas wasiat, amanat dan
amanah serta warisannya itu! Bersatu padu melaksanakan ajaran Pancasila
sebagai dasar negara, dengan petunjuk pelaksnaannya (juklak) di dalam
UUD 1945 yang isinya adalah semangat dan jiwa serta apinya Islam itu
sendiri juga ajaran agama – agama lainnya, pasti akan lebih
berkemaslahatan sebagai cermin “keimanan dan ketaqwaan” kita ketimbang
sekedar berbalutkan baju agama yang sempit, sektarianisme yang
membelenggu “kwalitas kerohanian” mereka. Yang otomatis mempertumpul
tumbuhnya “rasa ing pangrasa” dan menihilkan “memanusiakan – manusia”
sebagai wajah Allah, sebagai personifikasi – NYA. Sebagai Bait Allah!
TUHAN telah memberkati dan merahmati perjuangan para pendahulu kita yang
puncaknya dalam suasana bulan bertabur seribu bintang, Bulan suci
“Ramadhan” sehingga terciptalah “Negara Proklamasi Kesatuan Republik
Indonesia” yang berdasarkan “PANCASILA” dengan juklaknya “UUD 1945”.
Menurut kesaksian S. K. Trimurti, Proklamasi itu sendiri sebelumnya akan
dideklarasikan di Lapangan Ikada namun tiba – tiba berubah di kediaman
Bung Karno, karena faktor keamanan dimana serdadu Jepang siap
menumpahkan darah dan tempat tersebut telah dijaga ketat oeh mereka.
BERSAMBUNG
Sriwidada Putu Gedhe Wijaya
February 25 at 6:32am · Like · Dislike · Report
Riky Wardana likes this.
FORUM INDONESIA SEJAHTERA: KIDUNG PANCASILA (EDISI VI/250211): JAYA! RAHAYU WIDADA MULYA Para Kadang Sutresna, maafkan bila kami tak dapat memenuhi permintaan sebagian kadang untuk menterjemahkan KIDUN...